Jakarta

Salah seorang mahasiswi kampus swasta di Jakarta, Deo, menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) modus kerja magang ke Jerman lewat program ferienjob. Deo mengaku sempat menganggur, terkena potongan gaji, hingga mendapat somasi.

Deo bercerita sudah merasakan kejanggalan sejak awal. Sebab, saat pemberkasan, ada hal-hal yang tidak disosialisasikan oleh pihak PT SHB selaku penyelenggara program ini.

“Dalam proses berkas di Indonesia, semua berjalan dengan baik sampai di mana saya merasa ada hal yang menurut saya perlu disosialisasikan oleh SHB, pada saat Zoom meeting SHB tidak mensosialisasikan contoh kontrak yang harus ditandatangani dengan agensi di Jerman pada saat kami akan tiba di Jerman,” kata Deo saat dihubungi detikcom, Kamis (28/3/2024).


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kejanggalan selanjutnya ia rasakan saat tiba di Jerman. Di sana, Deo tak mendapat fasilitas jemputan di bandara.

“Kejanggalan berikutnya saya rasakan ketika kedatangan saya di bandara Jerman tidak ada yang menjemput saya seperti yang disosialisasikan sebelumnya oleh SHB (via Zoom),” ungkapnya.

Selain itu, pekerjaan yang dijanjikan PT SHB tak jelas. Akibatnya, Deo sempat menganggur satu bulan di Jerman.

“Dan kejanggalan semakin diperkuat dengan tidak adanya kejelasan pekerjaan yang telah ditawarkan dan disetujui antara mahasiswa dengan SHB dan agensi di Jerman hingga membuat saya menganggur di Jerman selama kurang lebih satu bulan,” katanya.

Deo lantas mendapatkan pekerjaan pengganti di perusahaan logistik. Deo bekerja di bagian sort center.

Deo mengaku tak mempermasalahkan jenis pekerjaan pengganti yang ia dapatkan. Namun dia menyayangkan potongan gaji yang dilakukan oleh agensi di Jerman.

“Saya tegaskan bahwa saya tidak mempermasalahkan jenis pekerjaan pengganti yang diberikan kepada saya, namun yang saya sesalkan adalah ada banyak potongan gaji yang dilakukan oleh agensi di Jerman, jam kerja yang dipotong yang di mana seharusnya dibayarkan, contoh 6 jam kerja namun hanya dibayar 3 jam saja,” katanya.

Selain itu, dia harus menanggung denda apartemen. Sedangkan gajinya dipotong tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

“Adanya denda apartemen yang tidak jelas, namun gaji saya dipotong secara langsung tanpa konfirmasi yang diperkuat dengan bukti. Tidak tanggung-tanggung, denda yang dibebankan lebih dari 500 euro. Dan bonus dari perusahaan tempat saya bekerja tidak saya terima,” jelasnya.

“Jelas hal-hal ini yang membuat saya merasa dieksploitasi,” imbuhnya.

Mendapat Somasi dari PT SHB

Setelah sampai di Indonesia, Deo diminta lagi melalui email untuk membayarkan biaya sebesar 100 euro kepada SHB. Karena tak membayarnya, Deo mendapat somasi dari PT SHB.

Padahal Deo sudah menghabiskan uang Rp 35 juta lebih. Angka ini tidak sebanding dengan apa yang diterima Deo.

“Jika ditanya berapa biaya yang telah saya keluarkan selama mengikuti program ini, kurang lebih menyentuh angka Rp 35 juta ke atas, tentu tidak sebanding dengan apa yang saya terima, bisa dikatakan modal pun tidak balik,” tuturnya.

Saat ini, Deo juga memang masih memiliki kewajiban untuk mengembalikan sejumlah dana ke kampusnya. Kendati demikian, ia ingin fokus pada kasus hukum ini.

“Untuk kampus saat ini memang ada dana yang harus saya kembalikan, namun fokus saya saat ini untuk meminta pertanggungjawaban pihak SHB dan agensi di Jerman melalui jalur hukum,” pungkasnya.

(rdp/idh)



Source link

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *